TENTANG IBUKU DAN MASA SEKOLAHKU

Sebelum menceritakan perjuangan ibuku saat aku sekolah (seharusnya yang berjuang aku ya? :D), aku inget ada peristiwa menarik saat aku masih kecil yang lupa tidak aku ceritakan pada posting sebelumnya. Saat itu usia ku sepertinya masih TK kalau tidak salah. Waktu itu aku membuat kesalahan yang aku fikir bisa membuat ibuku marah, karena takut dimarahi aku pun berinisiatif untuk sembunyi dan tidak pulang ke rumah sampai aku merasa aman dan ibuku melupakan kesalahanku. Tapi maklum saja karena masih kecil aku hanya bersembunyi di belakang kamar mandi, takut sembunyi jauh-jauh ntar malah ilang. Aku merasa aku sudah terlalu lama sembunyi di belakang kamar mandi sampai aku merasa capek sendiri. Tapi tak lama kemudian ibuku datang dan memintaku untuk segera mandi. Padahal jantungku udah deg-deg an setengah mati, ternyata beliau malah memintaku segera mandi bukan memarahiku atas kesalahan yang aku buat. Sambil memandikanku beliau menceritakan masa kecilnya, kalau dulu pernah ada teman masa kecilnya yang kabur dari rumah karena suatu hal. Ibunya pun panik dan mencarinya, sampai menjelang maghrib, tapi tak kunjung ketemu. Akhirnya ibunya meminta pertolongan warga desa, warga desa berinisiatif mencari sambil membunyikan alat-alat dapur, takutnya kalau-kalau si anak di culik Genderuwo. pencarian dialakukan sampai hampir tengah malam, tapi tak kunjung membuahkan hasil. Ternyata esok paginya si anak di temukan tertidur di atas pohon randu, dengan bau badan yang pesing. Semua warga mengambil kesimpulan kalau anak itu diculik genderuwo dan di bawa ke atas pohon randu, bau pesing itu adalah bau kencing genderuwo. Setelah mendengar cerita itu pun aku tak pernah lagi mencoba sembunyi saat mendapat masalah, ya masalah harus kita hadapi karena masalah akan mendidik kita menjadi semakin dewasa.

Selama aku TK dan awal masuk SD warung kelontong di rumahku lumayan ramai, hampir semua kebutuhan sehari-hari ada. Yang mengelola ya ibu ku bagian staff penjualan dan bapak bagian pembelian, sementara aku bagian ngabisin duit. Tepi setelah krisis ekonomi 1998 semua harga barang-bantang naik, ditambah lagi adikku baru saja lahir satu tahun sebelumnya. Sebenarnya aku dari TK sudah kepingin punya adik karena teman-temanku sudah pada punya adik saat mereka masih TK. Tapi baru terkabul saat aku sudah SD tepatnya saat duduk di kelas 1. Karena semua harga kebutuhan naik, kami pun tak bisa lagi kulakan barang, karena harga yang kami jual kemarin-kemarin jauh lebih murah dari pada harga sekarang setelah krisis ekonomi. Setahun dua tahun mencoba bertahan, akhirnya usaha kelontong kami pun colapse dengan hanya menyisakan dagangan mie instan, vetsin, sabun colek, dan shampo sachet.

Akhirnya bapak memutuskan untuk berjualan krupuk, hampir sama seperti yang beliau lakukan dulu saat aku masih belum lahir. Bedanya dulu beliau menjual kerupuk mentah sekarang beliau menjual kerupuk yang sudah dimasak menggunakan pasir. Bahasa kerennya kerupuk upil, kurang tahu juga kenapa disebut kerupuk upil, apa rasanya asin kayak upil ya? soalnya belum pernah makan upil sih... :D. Setiap malam Ibu, bapak, aku, dan kadang salah seorang temanku sekampung namanya munawir ikut membantu kami mengemas kerupuk-kerupuk kedalam plastik yang sudah disesuaikan ukurannya. Pagi harinya bapak menjualnya ke Pasar, tepat setelah turun sholat shubuh, beliau bersegera menjemput rejeki dengan berjualan krupuk upil, demi anak-anak tercinta.

Pagi hari nya saat bapak ke pasar ibu tidak lantas berpangku tangan. Beliau memasak bumbu kerupuk (biasanya cuma bawang saja sih) lalu dicampurkan ke dalam kerupuk yang masih mentah, lalu kemudian dijemur di bawah terik matahari. Dia berpanas-panas menjemur krupuk yang masih mentah agar kering dan bisa mengembang bila digoreng. Siang harinya selepas dhuhur, ibu memasak krupuk itu dengan kayu bakar dan tungku tanah yang sudah diisi dengan pasir. Ya, dia melakukannya secara manual bukan dengan mesin seperti kebanyakan produsen krupuk saat ini. Ibuku yang dulunya anak bungsu yang dimanja kakak-kakaknya kini berubah menjadi wanita tangguh, istri yang kuat dan patuh, ibu yang penyayang dan memanjakan anaknya. Pekerjaan itu dilakukan beliau sampai aku lulus kuliah farmasi. Ya bergelut dengan api kayu bakar dan bermandikan panas cahaya matahari. Sampai suatu saat harga tepung ketela naik begitu tinggi, hingga berpengaruh pada harga krupuk goreng pasir yang juga naik. Tapi konsumen tak mau menerima kenaikan itu. Ya, sebagai gantinya kita harus mengakalinya dengan memperkecil ukuran kemasan kerupuk agar kebutuhan tetap terpenuhi dan tak merugi. Lama-kelamaan keuntungan tak dirasa cukup untuk sehari-hari. Bapak pun beralih berjualan buah-buah an, dan tetap menjajakannya di pasar. ibuku bisa lebih memanjakan diri, tak perlu berpanas-panas lagi. Untunglah aku sudah lulus sekolah, tinggal adikku saja yang masih sekolah Madrasah Aliyah.

postingan berikutnya, tentang "ibuku dan masa ku bekerja (sebuah akhir yang indah namun tak terduga)"

No comments:

Powered by Blogger.