IBUKU DAN WAKTUKU KERJA (part 02)

Di tempatku kerja yang baru, aku bisa pulang setiap malam. Tak lagi harus tidur di apotek seperti dulu. Aku pulang setiap jam 9 malam saat masuk shift siang (sekarang jam setengah 10 malam). Apotek tempatku kerja ini dibagi 2 shift, masing-masing shift lamanya 7 jam. Setiap malam, sekalipaun ibuku sudah lelah dengan pekerjaannya mengatur rumah, beliau selalu menungguiku pulang, dan membukakan pintu rumah untukku. Asal kalian tahu ibuku bangun sekitar jam 3-an, biasanya beliau sholat malam dilanjut dengan memasak. Bagi beliau bangun setengah 5 sudah termasuk bangkong (bangun telat), padahal bagi orang lain jam segitu adalah jam-jam paling enak buat tidur. Tak peduli aku pulang jam 9 atau jam 10 ibuku akan menungguku, dan membukakan pintu, selau tersaji segelas besar kopi susu yang masih panas, atau bahkan sudah menjadi dingin, sudah tersedia menyambutku saat pulang malam.

Tanggal 31 adalah saat yang paling ditunggu, bagi semua karyawan. Karena saatnya gajian...!!! Yeeeyyyy...!!! Yipppiiii....!!! *loncat-loncat goyang-goyang*. Tapi kenyataannya bagiku gajian juga merupakan hal yang memusingkan, aku harus merelakan separuh uang gajiku untuk diserahkan ke ibu. Yang tersisa di dompet cuma uang untuk bensin dan jajanku saja. Padahal aku juga ingin menabung untuk masa depanku, untuk biayaku menikah, untuk biayaku mendirikan perusahaan sendiri, dsb. Antara ikhlas dan nggak ikhlas. Aku awalnya berfikir kalau uang segitu dibuat apa sama ibu, kebutuhannya apa sih paling cuma buat beli beras sama lauk, uang segitu pasti sisa banyak, lalu sisanya buat apa. Aku tak pernah berani menanyakannya. Takutnya dipikir aku nggak ikhlas ngasih uangnya, padahal emang sedikit nggak ikhlas. Tapi setelah beliau tiada, barulah terasa uang segitu itu ternyata banyak kurangnya untuk dibuat kebutuhan sehari-hari, belum lagi dibuat beli camilan yang hampir selalu ada setiap sore, buat bayar listrik, arisan, iuran rutin dll. uangku yang kuserahkan buat ibu dipakai untuk berbagai macam kebutuhan, dan aku baru sadar setelah beliau tiada. Beliau tak pernah menceritakan uang itu buat ini buat itu, beliau cuma meminta sebagian uangku, ya cuma sebagian uang gajiku, dan aku selalu memberinya dengan muka sedikit masam, dan hati yang kurang ikhlas. Maafkan aku ibu.

Di tengah perjalanan karirku aku diimingi-imig oleh teman lama ku untuk menjadi medical representative (Med.Rep), atau bahasa kasarnya nawarin obat ke dokter-dokter gitu lah. Sebelum aku memutuskan pindah kerja bapak-ibuku sebenarnya melarangku, tapi aku merasa tertantang dengan kerjaan yang ditawarkan padaku sebagai Med.Rep. Tapi ternyata pekerjaan sebagai sales, tak seperti yang awal-awal aku fikirkan. Aku fikir bekerja sebagai MedRep bisa lebih banyak meluangkan waktu dengan keluarga, bisa bekerja sewaktu-waktu. Tapi ternyata, MedRep bekerja menyesuaikan jam kerja dokter, saat dokter praktek malam aku harus bekerja malam, menunggui nya sampai pasien habis, dan baru bisa menawarkan dagangan ku. Itu juga kalau masih mood nawarin, kalau nggak mood ya penting masuk aja minta stempel kunjungan. Bayangin nunggu berjam-jam buat ketemu dokter, sekali ketemu belum tentu si dokter order obat kepada kita. Kan ngenes.

Karena sudah mulai lelah, aku pun memutuskan untuk pindah ke Surabaya, bekerja di biro pemberangkatan haji dan umroh, orang tuaku mendukungku untuk pindah kerja. Tapi karena tak pernah merantau aku juga tak betah di Surabaya, sebulan kemudian aku balik ke Kediri, jadi pengangguran. Hehehe. Nggak lama jadi pengangguran datang tawaran dari salah seorang sahabat, untuk membantu mengajar di sebuah SD yang baru saja yayasan miliknya bangun. SD baru yang baru punya 2 kelas. Aku disuruh mengajar kelas 1. Karena letak sekolah sekitar 40Km dari rumah, aku-pun memberanikan diri untuk tidur di sekolah tersebut. Seorang diri. Demi menghemat, pengeluaran. Kalian tahu sendiri kan berapa gaji guru di Indonesia. Sangat tak sebanding dengan jasa yang mereka berikan kepada anak-anak didik mereka.

Tapi anehnya setiap aku pulang ke rumah seminggu sekali, isi dompetku selalu bertambah. Entah uang darimana, ibu selalu menyelipkan lebaran puluhan di dompetku saat aku pulang. Mengingat dulu waktu masih bekerja di apotek aku selalu menyerahkan gajiku pada ibu, sekarang keadaan berbalik. Aku yang bekerja, harusnya aku yang memberi uang ke ibu, bukan malah ibu yang memberi uang kepadaku. 6 bulan aku mengajar di SD tersebut, karena merasa semakin tak enak hati kepada ibu. Aku pun memutuskan untuk kembali ke apotek. Selain karena ajakan teman lamaku yang masih bekerja di apotek, dia bilang kalau semenjak aku keluar apotek semakin berantakan (jadi ge er gua).

Sampai sekarang aku masih bekerja di apotek itu. Dan saat gajian aku selalu merindukan ibu. Ahh... tidak aku merindukannya setiap saat tapi saat aku menerima gaji aku lebih merindukannya.

No comments:

Powered by Blogger.